09 Mei, 2011

Sejarah Goyang Karawang Dibalik Film "AGK"

Gara-gara judul film Arwah Goyang Karawang, pejabat di daerah tersebut gerah. Mereka tak ingin Karawang hanya identik dengan goyang, sebuah jargon yang telah melekat untuk daerah di wilayah pantai utara Jawa ini. Itulah sebabnya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Karawang, Jawa Barat, menantang para produser film untuk mengangkat cerita budaya lokal Karawang yang sebenarnya, sebagai salah satu upaya pelurusan pemaknaan tari jaipong dan goyang Karawang.

"Silakan saja, kami menantang kalau ada produser yang benar-benar ingin membuat film tentang nilai budaya lokal Karawang, akan kami fasilitasi," kata Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Karawang Acep Jamhuri, di Karawang, Selasa. Dikatakannya, munculnya film Arwah Goyang Karawang yang pada akhirnya berganti judul menjadi Arwah Goyang Jupe-Depe dikhawatirkan menimbulkan pencitraan negatif terhadap daerah Karawang dan tari jaipong.

Atas hal tersebut, katanya, pemerintah daerah setempat akan melakukan pelurusan makna mengenai goyang Karawang dan tari jaipong. Hal tersebut dilakukan dengan menjadi peserta pameran seni dan budaya di berbagai daerah. Bahkan, jika ada produser film yang benar-benar ingin mengangkat nilai budaya lokal Karawang, seperti tari jaipong dan goyang Karawang, pihaknya akan bersedia mengenai hal itu.Ia mengaku bersedia membantu proses pembuatan film tersebut, seperti dalam melakukan penelitian atau yang lain-lain, untuk keperluan pembuatan film yang benar-benar mengangkat nilai budaya lokal.

Sementara itu, mengenai perubahan judul film Arwah Goyang Karawang menjadi Arwah Goyang Jupe-Depe setelah terjadi protes dari warga Karawang, Acep menilai itu bukan solusi jika isi ceritanya tetap sama atau tidak diubah secara total. Ia menilai solusi saat ini ialah mengubah judul dan isi cerita dalam film tersebut secara total. Sebab, kini masyarakat Karawang sudah telanjur resah terhadap peredaran film itu dan dikhawatirkan akan membuat citra negatif terhadap Karawang.

Pihaknya masih keberatan karena pihak berwenang hanya mengganti judul film tersebut tanpa mengubah isi cerita. Sebab, ia menilai isi cerita dalam film yang dibintangi Julia Peres dan Dewi Perssik itu perlu diubah."Coba dikaji saja, secara umum judul film dan isi cerita itu berkaitan. Jadi, bukan solusi kalau juful film saja yang diubah, sedangkan isi ceritanya tidak ubah. Jadi, produser film itu harus mengubah isi cerita secara total," tutur dia.

Sejarah Goyang Karawang
Menurut si kakek yang pernah berbincang dengan penulis, mengaku sedari kecil/anak-anak, dia (si kakek) sudah mengenal istilah goyang karawang. Dengan demikian ini melekatkan arti bahwa istilah goyang karawang sudah cukup lama berkembang terutama di masyarakat karawang sendiri. Menurut si kakek, asal muasal istilah goyang karawang terlahir dari satu tradisi masyarakat (khusus kaum perempuan) yang sering kali melakukan kegiatan “nginter” /"nampi beras" yang mana kegiatan itu berupa bagian dari proses produksi pertanian. Itu saja yang si kakek ketahui tanpa ada penjabaran/penguraian lebih detail.

Bermula pada sekitar abad 17, saat sultan Mataram mengirim balatentara dibawah pimpinan Bupati Surabaya ke tanah pasundan/Jawa Barat dengan maksud untuk menundukan kerajaan Banten, Sayangnya dalam perjalanan mereka dihadang oleh pasukan VOC, kemudian pasukan Bupati Surabaya berhasil dipukul mundur. Lalu Sultan agung Mataram mengirim ekspedisi ke dua di bawah pimpinan Dipati Ukur tapi lagi-lagi nasibnya serupa dengan pasukan yang pertama.

Guna membendung arus ekspansi wilayah kekuasaan VOC, Sultan Mataram mengutus Penembahan Galuh (Ciamis) bernama R.A.A. Wirasuta yang bergelar Adipati Panatayuda atau Adipati Kertabumi III untuk menduduki Rangkas Sumedang (Sebelah Timur Citarum). Selain itu juga mendirikan benteng pertahanan di Tanjungpura, Adiarsa, Parakansapi dan Kuta Tandingan. Setelah mendirikan benteng tersebut Adipati Kertabumi III kemudian kembali ke Galuh dan wafat. Nama Rangkas Sumedang itu sendiri berubah menjadi Karawang karena kondisi daerahnya berawa-rawa (Sunda :"Karawaan").

Dari masa inilah kemudian tentara mataram mulai memaksa masyarakat untuk bercocok tanam/bertani dan upeti yang besar bagi petani yang sudah lebih dulu menanam bahkan tak jarang perampasan hasil panen milik petani guna menyandang logistic/pangan bagi kebutuhan perang melawan kerajaan Banten dan menghalau tentara kompeni.

Sultan Agung Mataram kemudian mengangkat putera Adipati Kertabumi III, yakni Adipati Kertabumi IV menjadi Dalem (Bupati) di Karawang, pada Tahun 1656. Adipati Kertabumi IV ini juga dikenal sebagai Panembahan Singaperbangsa atau Eyang Manggung, dengan ibu kota di Udug-udug.

Pada masa pemerintahan R. Anom Wirasuta putera Panembahan Singaperbangsa yang bergelar R.A.A. Panatayuda I antara Tahun 1679 dan 1721 ibu kota Karawang dari Udug-udug pindah ke Karawang, dengan daerah kekuasaan meliputi wilayah antara Cihoe (Cibarusah) dan Cipunagara. Pemerintahan Kabupaten Karawang berakhir sekitar tahun 1811-1816 sebagai akibat dari peralihan penguasaan Hindia-Belanda dari Pemerintahan Belanda kepada Pemerintahan Inggris.

Antara tahun 1819-1826 Pemerintahan Belanda melepaskan diri dari Pemerintahan Inggris yang ditandai dengan upaya pengembalian kewenangan dari para Bupati kepada Gubernur Jendral Van Der Capellen. Dengan demikian Kabupaten Karawang dihidupkan kembali sekitar tahun 1820, meliputi wilayah tanah yang terletak di sebelah Timur sungai Citarum/Cibeet dan sebelah Barat sungai Cipunagara.Dalam hal ini kecuali Onder Distrik Gandasoli, sekarang Kecamatan Plered pada waktu itu termasuk Kabupaten Bandung. Sebagai Bupati I Kabupaten Karawang yang dihidupkan kembali diangkat R.A.A. Surianata dari Bogor dengan gelar Dalem Santri yang kemudian memilih ibukota kabupaten di Wanayasa.

Pada masa pemerintahan Bupati R.A. Suriawinata atau Dalem Sholawat, pada tahun 1830 ibu kota dipindahkan dari Wanayasa ke Sindangkasih yang diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tanggal 20 Juli 1831 nomor 2.
Pembangunan dimulai antara lain dengan pengurugan rawa-rawa untuk pembuatan Situ Buleud, Pembuatan Gedung Karesidenan, Pendopo, Mesjid Agung, Tangsi Tentara di Ceplak, termasuk membuat Solokan Gede, Sawah Lega dan Situ Kamojing.

Pembangunan terus berlanjut sampai pemerintahan bupati berikutnya.
Kabupaten Karawang dengan ibukota Purwakarta berjalan sampai dengan tahun 1949. Pada tanggal 29 Januari 1949 dengan Surat Keputusan Wali Negeri Pasundan Nomor 12, Kabupaten Karawang dipecah dua yakni Karawang Bagian Timur menjadi Kabupaten Purwakarta dengan ibu kota di Subang dan Karawang Bagian Barat menjadi Kabupaten Karawang. Berdasarkan Undang-undang nomor 14 tahun 1950, tentang pembentukan daerah kabupaten dalam lingkungan Propinsi Jawa Barat, selanjutnya diatur penetapan Kabupaten Purwakarta, dengan ibu kota Purwakarta, yang meliputi Kewedanaan Subang, Sagalaherang, Pamanukan, Ciasem dan Purwakarta. (wiki pedia)

Dari sepintas sejarah ini kita akan sedikit dapat menarik benang merahnya. Saya akan mengurai hal-hal yang menurut saya dari sejarah tersebut goyang karawang muncul seiring dengan kabupaten karawang yang dijadikan penyangga logistic oleh tentara mataram. Pertanian kabupaten karawang pun boleh dikatakan berkembang pada saat itu, sebagaimana kita ketahui bahwa seni budaya itu dilahirkan dari rahim relasi-relasi social dan corak produksi masyarakatnya.

System produksi pertanian dan asal mula istilah goyang karawang
Tentu saja Pertanian Karawang pada masa-masa itu masih sangat tradisional. Tradisional di sini boleh dibilang karena dari cara dan alat-alat produksinya yang masih sangat sederhana tanpa kehadiran mesin produksi seperti traktor dan mesin penggilingan padi yang saat ini sudah banyak dipergunakan.

Agar lebih mendekatkan pencarian istilah goyang karawang, terlebih dulu saya akan paparkan proses produksi bertani pada waktu itu. Proses produksi yang dilakukan pertama kali adalah merendam benih (varietas) pilihan yang akan ditanam (selama kurang lebih satu minggu). Tahap kegiatan ini sejalan dengan pengolahan tanah dan pembuatan persemaian, setelah itu melakukan penyemaian selama 21 hari, lalu proses berikutnya adalah menanam (tandur) setelah selesai tandur baru memasuki fase perawatan (ngoyos/ngarambet dan pemberian pupuk alami) dan setelahnya tinggal menunggu masa panen. Saat panen, setelah padi di petik kemudian digebot dan lalu dijemur proses selanjutnya yaitu menumbuk padi yang sudah kering hingga menjadi beras. Pada proses akhir inilah yang menurut saya penting untuk kembali saya urai detail.

Dalam menumbuk padi agar sampai menjadi beras, waktu itu masyarakat menggunakan alat alu dan lesung. Biasanya kaum perempuan yang mengerjakan proses ini secara bersama-sama/kolektif. Dalam proses pemisahan antara beras dengan gabah setelah ditumbuk, di sebut nginter (b.sunda). Yaitu sebuah gerakan tubuh perempuan pada posisi berdiri sambil menggerak-gerakan nyiru (alat untuk menampi yang terbuat dari anyaman bambu), berisi kira-kira 90% beras dan 10% gabah (pada fase ini gabah tersebut diistilahkan khusus menjadi serah) dengan maksud biji yang masih berbentuk gabah/serah terpusat di tengah nyiru lalu biji gabah/serah yang sudah terpusat di tengah nyiru tersebut di (rawu/diambil dengan kedua telapak tangan) dan dipisahkannya dari biji beras untuk kemudian ditumbuk kembali. Nah, dalam proses nginter ini lah (terdapat gaya sentrifugal/berlawanan arah keluar) ketika kedua tangan menggerakan nyiru berputar kearak kiri maka secara otomatis tubuh berputar tetap ke arah kanan, dengan tubuh sedikit condong kedepan maka tampak sekali pinggul bergoyang secara kontinyu.

Kebiasaan lainnya pada saat perempuan-perempuan desa menyelesaikan pekerjaan penumbukan, mereka melakukan pemukulan lesung dengan alu masing-masing secara teratur dan berirama sehingga mengeluarkan suara yang enak di dengar sambil sebagian dari mereka melagukan kawih-kawih sunda dan sebagian menari (mungkin ini salah satu seni musik dan kawih/lagu yang dilahirkan oleh kegiatan produksi).

Karena yang demikian itu merupakan pekerjaan produksi yang menjadi bagian dari proses kehidupan manusia, maka gerakan goyang yang misterius kesejarahannya tersebut berlangsung setiap saat dimanapun kaum perempuan tani berada. Kegiatan tersebut tak hanya dilakukan oleh perempuan tua, melainkan dilakukan pula oleh gadis-gadis desa dimasa itu di Karawang (sekarang kabupaten karawang) dan dulu karawang yang sekarang sudah menjadi kabupaten Purwakarta dan kabupaten Subang

Barulah kemudian di era yang tengah terjajah tersebut, laki-laki biadab (tuan tanah/hulubalang kerajaan/serdadu penjajah) meyakini atau lebih tepatnya mengasumsikan bahwa perempuan-perempuan Karawang memiliki kelebihan tersendiri yaitu goyangan pinggulnya, tentu saja yang mengisi kepala mereka adalah nafsu sahwat yang tak terkendali. Dengan segenap kekuatan/kekuasaan/bahkan senjata mereka dengan sangat mudah mengambil gadis-gadis desa tersebut sebagai pengganti tebusan utang (rente) yang tak terbayar oleh bapak-bapak mereka, lalu dijadikannya pelayan nafsu durjana mereka, bahkan tak jarang pemerkosaan dilakukannya. Walalupun sebenarnya sistem matriarchal sudah berubah menjadi patriarchal di era ini, yang menghendaki kaum laki-laki memikiki dominasi atas kaum perempuan.

Seiring perjalanan waktu, terdapat penyatuan dan serapan budaya seni jaipong (yang konon berasal dari bandung) dalam kehidupan masyarakat karawang dimana masyarakat karawang pun sudah mengenal seni tarik suara, musik dan tarian di tengah kegiatan produksi pertanian masih menghisap penuh dengan kegetiran sertamenghambakan banyak kaum buruh tani.
Dengan demikian, menurut saya untuk mengetahui seluk beluk goyang karawang pada esensinya bukan terletak pada ruang dan titimangsa, pelaku sejarah, kapan dan dimana mulai muncul nama goyang karawang. Akan tetapi terdapatnya kandungan pesan tentang sejarah goyang karawang ditengah kegigihan nenek kakek kita dalam mempertahankan hidup serta merebut kembali hak-haknya yang direnggut penguasa feudal (tuan tanah dan sebarisan pemerintahan zhalim), hingga kepedihan itu berlanjut ke masa penjajahan berikut perlawanan rakyatnya (baca : Prasasti Rawagede) juga kemiskinan para petani dan kaum perempuan dibawah patriarchal. Jadi kesimpulannya adalah goyang karawang bukan seni budaya hedonis yang mendegradasi derajat kaum perempuan, melainkan seni budaya kolektif/gotong royong yang tumbuh pada perjuangan kemerdekaan diri.

Penyebaran istilah Goyang Karawang
istilah goyang karawang tersiar lebih luas jangkauannya dan lebih cepat daya rambatnya ketika media massa elektronik berkesanggupan menjalarkannya hampir keseluruh pelosok negeri. ini pun sangat dimungkinkan oleh peran Lilis Karlina sebagai pedangdut yang cukup memiliki kemampuan tarik suara di jagad musik Indonesia, dimana pada masa itu musik dangdut boleh dikatakan masih menempati ruang terlebar di masyarakat, tanpa ada pengecualian pada kalangan/segmen anak muda dan daerah perkotaan yang saat ini sudah menjadi pasar bagi perusahaan-perusahaan/industri rekaman/bisnis entertain, khususnya musik seperti pop, rock dan sebagainya.

Yang menjadi menarik buat kita adalah tak sekedar penyiaran media tentang lagu Goyang Karawang oleh keselarasan suara Lilis Karlina sendiri yang mendongkrak penjualan kaset/CD. Akan tetapi ada satu hal lain tentang banyaknya kalangan pengamat musik dangdut yang menilai dan membandingkan dengan Itje Tresnawati dalam lagu "Duh Engkang", jauh lebih hebat dibanding Goyang Karawang Lilis Karlina dalam kapasitas vokal dan bangunan liriknya. Kalau pun secara pasar Lilis Karlina mampu mengungguli popularitas Itje Tresnawati, ini lebih dikarenakan oleh nuansa sensual yang dipintonkan oleh sang penyanyi dalam keselarasan judul lagu Goyang Karawang. Sementara dalam lagu tersebut memang tak terdapat makna berarti bagi masyarakat. Adapun faktor pendukung penyebarannya adalah alat-alat eloktronik untuk memutar lagu/video tersebut seperti tape recorder, walkman, televisi, VCD player dsb, yang semua itu harus masyarakat miliki.

Berhubungan dengan pembuatan film arwah goyang karawang yang dibintangi oleh Julia Perez yang banyak dinilai orang sama sekali tidak ada relevansinya dengan sejarah goyang karawang, dan lebih cenderung “bomseks” itu bukan hal aneh lagi, karena yang menggarap film tersebut adalah perusahaan/industri film yang berorientasi profit (Kapitalistik) yang memiliki watak membodohi dan cabul.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar